Rabu, 06 Oktober 2010

HOMO HOMINI SOCIUS DAN HOMO HOMINI LUPUS

A.      Manusia sebagai Homo Homini Socius

Makna manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi yang bermoral 

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, karena memang manusia diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi, bermasyarakat atau bersilaturahmi dengan sesama serta dapat saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkumpul dengan sesama merupakan kebutuhan dasar atau naluri manusia itu sendiri yang dinamakan Gregariousness. Maka dengan demikian manusia merupakan makhluk sosial Homo Socius. Socius berasal dari bahasa Latin yang berarti teman, kawan atau masyarakat, sedangkan Homo yang berarti sejenis. Sehingga Homo Socius dapat diartikan sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi dengan sesama atau bergaul. Adapun ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama sesamanya dinamakan ilmu sosiologi.

Adam Smith seorang filsuf berlatar belakang ekonomi mengutarakan bahwa manusia  adalah makhluk Homo homini socius yang berarti manusia menjadi kawan bagi manusia lainnya. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana, teori ini dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan akurasi dan dipandang baik oleh orang. Dalam konteks ingin dipandang baik oleh orang lain, akan menjadi sorotan dalam homo homini socius dan kemudian, kebutuhan ini akan dijelaskan lebih lanjut dengan konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi harga diri.

Kebutuhan akan harga diri pertama kali dijelaskan dalam hierarchy of needs, oleh Abraham Maslow (Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas dua bagian untuk kebutuhan akan harga diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong tinggi. Yang tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain, kebutuhan akan status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi, apresiasi, martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self respect) seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi, perolehan hasil, penguasaan akan suatu hal, kemandirian, dan kebebasan. Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh Maslow karena ketika sudah memiliki self respect tersebut, maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua.

Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang kemudian akan membuat seseorang membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh harga diri tadi, maka manusia butuh orang lain untuk memberikannya. Hal ini bahkan dijelaskan oleh Erik Erikson, seorang psikolog psikodinamika, dalam teori fase-fase perkembangan manusia, psikososial, bahwa kebutuhan akan harga diri sudah dimunculkan sejak manusia masih bayi (santrock, J.W, 2006).Manusia dalam memenuhi kebutuhannya di ungkapkan oleh Adam Smith ( 1723-1790) dalam bukunya yang berjudul “ An Inquiry into the nature and causes of the wealth of nations”, yaitu Manusia merupakan makhluk ekonomi atau  Homo Economicus yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya. Sebagai makhluk ekonomi manusia selalu bertindak Rasional artinya selalu memperhitungkan sebab akibat untung atau rugi dalam mengambil suatu keputusan dalam rangka memenuhi kebutuhannya sehingga tidak merugikan diri sendiri. Namun demikian makhluk ekonomi bukanlah makhluk egois yang hanya Manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran. Mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Makhluk ekonomi cenderung menggunakan prinsip prinsip ekonomi dalam aktifitasnya.

kebebasan Individual
Namun terdapat suatu paradoks tersendiri dalam kebutuhan akan harga diri tersebut, yaitu ketika seorang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya ini, terdapat juga issue yang dikemukakan oleh Maslow bahwa manusia butuh mandiri dan bebas. Jika kita masih membutuhkan orang lain dalam membentuk harga diri kita, maka dimana letak kebebasan individual dalam bertingkah laku ? ( Luijpen, W.A, 1969 ). 
Seorang Psikolog Psikodinamika, Erich Fromm, dalam teorinya yang berjudul “Escape from freedom“, mencoba menjelaskan paradoks ini. Fromm menggunakan pendekatan dari dua sisi, yaitu bahwa manusia terbatas dalam hal biologis (menurut pandangan Freud) dan dalam hal aspek sosial (menurut pandangan Marx). Kedua pendekatan ini yang kemudian menjadi dasar, mengapa manusia bagaimanapun mencoba untuk lepas dari keterikatannya, tidak akan pernah bisa lepas secara mutlak, atau menurut Jean Paul sartre (filsuf dari Eropa) bahwa manusia itu ada sebagai faktisitas (terbatas dalam memilih) juga, selain sebagai eksistensialis (bebas dalam memilih).

Ada tiga saja, cara melepas diri dari keterikatan yang dilakukan manusia, yang dikemukakan oleh Fromm, yaitu authoritarianism (melepas diri dari kekuasaan orang lain dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, atau menghindari dari kekuasaan yang dapat mengganggu dia), Destructiveness (membuat diri menjadi tidak ada sehingga tidak ada hal dapat diikat, atau menghancurkan pengikat diri), dan automaton conformity (menjadi sama dengan orang lain di bawah pengikat dirinya, sehingga tidak ada konfrontasi antara pengikat dengan diri sendiri)


Ciri Ciri Manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral.


Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk saling tolong menolong, setia kawan dan toleransi serta simpati dan empati terhadap sesamanya. Keadaan inilah yang dapat menjadikan suatu masyarakat yang baik, harmonis dan rukun, hingga timbullah norma, etika dan kesopan santunan yang dianut oleh masyarakat. Bila hal hal diatas dilanggar atau terabaikan maka terjadilah yang dinamakan penyimpangan social.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki 2 harat yaitu :
  • Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya  ( Masyarakat ) . 
  • Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.
     Manusia sebagai makhluk ekonomi memiliki Ciri- ciri yaitu :
  • Cenderung melakukan tindakan ekonomi atas dasar kepentingan sendi
  • Cenderung melakukan tindakan ekonomi secara efisien.Selalu memikirkan perbandingan antara apa yang dikorbankan atau dikeluarkan dengan apa yang akan dicapai hasilnya 
  • Cenderung memilih suatu kegiatan yang paling dekat dengan pencapaian tujuan diinginkan
 
Ketiga kecenderungan ini disebabkan karena kebutuhan atau keinginan manusia yang selalu bertambah sedangkan sumberdaya atau pemuas kebutuhan sifatnya terbatas.       Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya adalah :      
  1. Faktor intern
  • Sikap dan gaya hidup
  • Selera
  • Pendapatan
  • Intensitas kebutuhan
        2. Faktor ekstern
  • Lingkungan
  • Adat istiadat
  • Kebijakan pemerintah
  • Mode atau trend
  • Kemajuan teknologi dan budaya
  • Keadaan alam
  Hubungan antara manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi yang bermoral.      
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya tak lepas dari hubungannya dengan orang lain, karena dengan adanya hubungan tersebut maka apa yang dibutuhkan mungkin dapat terpenuhi, sebagai contoh; Manusia membutuhkan makan nasi maka ia harus pergi ke pasar untuk membeli beras pada penjual beras, adapun penjual beras tentunya mendapatkan beras (membelinya) dari para petani di desa. Hubungan jual beli ini tentunya akan lebih baik dengan mengindahkan etika dan norma (Moral) yaitu tidak melakukan kecurangan dalam transaksi jual belinya. Seperti mengurangi timbangan atau transaksi dengan menggunakan sebagian uang palsu dan berbagai bentuk kecurangan lainya. Bila terjadi kecurangan kecurangan tentunya hubungan antar manusia tidak akan harmonis. Walau manusia sebagai makhluk ekonomi yang selalu ingin mementingkan diri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya namun tidak dibenarkan untuk melakukan kecurangan dalam memperoleh apa yang diinginkannya.
Manusia tidak boleh mengabaikan etika dan nilai nilai moral didalam hubungannya dengan manusia lain (homo socius) dan dalam memenuhi kebutuhannya (homo economicus).        
B. Manusia sebagai Homo Homini Lupus      
Homo Homini Lupus, istilah yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, sebuah istilah yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945, yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. Di jaman sekarang ini sangat sulit menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada umumnya, sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang. Dalam dunia ini kita mengharapkan dapat hidup saling berdampingan dalam kedamaian dan saling pengertian dan saling menghargai antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Jangan saling menyakiti, jangan saling membenci, jangan saling menjatuhkan untuk kepentingan pribadi, jangan serakah akan hak milik orang lain, jangan menghina orang lain, jangan memandang rendah orang lain dan jangan menganggap diriku – lah yang paling hebat sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan atau hanya kesenangan atau kepuasan belaka. Menghalalkan segala cara termasuk dengan menyakiti hati sesama kita.
Itulah Homo Homini Lupus, Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, cuma bedanya bahwa serigala lebih tegas daripada manusia, serigala tidak menyembunyikan taringnya dengan senyuman, serigala tetap menunjukkan taringnya - lebih sportif  sementara manusia menyembunyikan 'keganasannya' dalam sebuah senyuman yang manis, dalam kepura-puraan. Serigala tidak 'memangsa' sesamanya, masih punya nilai kesopanan, etika, tapi manusia tidak pandang bulu, 'memangsa' siapa saja, tidak terkecuali anggota keluarga sendiri. Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain. Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah. Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan  untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat dibutuhkan.
Gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas sekalipun, saling sikut, saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan atau ambisi. Sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan kekerasan, mulai dari perkelahian,  pembunuhan, pemerkosaan, serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. 
Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri).     Kondisi seperti itulah yang kini dialami manusia dalam kehidupan masyarakat – bahkan dibeberapa abad silam. Padahal manusia bermasyarakat untuk mencapai tujuan bersama demi kehidupan yang lebih baik. Bertolak dari persoalan tersebut patut diajukan pertanyaan Apakah manusia itu? Siapakah manusia itu? Bagaimanakah kodrat kehidupan manusia? Mengingat persoalan yang dihadapi menyangkut manusia sebagai subyek (pelaku) dalam kehidupan sosial.
Itulah yang direnungkan Drijarka setengah abad silam. Ia merenungkan gejala-gejala sosial bertolak pengalaman eksistensi manusia. Gejala-gejala sosial dilihat dari pengalaman eksistensial manusia sebagai subyek sosial. Gagasan-gagasan tentang manusia merupakan sentral pemikirannya. Ia menolak gagasan bahwa kehidupan manusia dituntun oleh nafsu-nafsu.
Inti perenungannya tentang manusia merupakan lawan terhadap tesis homo homini lupus, yang bergagasan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus untuk memuaskan hasrat. Kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi untuk meraih kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan. Dan, dengan rasionya manusia dapat belajar dari pengalaman cara-cara paling efektif untuk memperoleh kepuasan dan menghindari kekecewaan. Jadi, kehidupan menurut kodrat manusia adalah sebuah pertempuran. 
Sedangkan masyarakat, dalam pandangan tersebut, hanya sebagai sarana untuk kepentingan-kepentingan egoisitisnya. Manusia secaara kodrati tidak mencari masyarakat demi masyarakat itu sendiri, melainkan mencari keuntungan tertentu darinya. Oleh karena itu hubungan-hubungan sosial merupakan produk dari kalkulasi dan persetujuan daripada dorongan. Hubungan-hubungan sosial lebih bersifat eksternal bagi individu daripada merupakan kesepahaman moral bersama.
Pandangan seperti itulah yang ditolak Drijarkara. Bagi Drijarkara, manusia bukan pertentangan antara jiwa dan badan. Manusia adalah pribadi dengan dimensi kejasmanian dan kerohanian, dimana roh mewujudkan refleksi budi dan kesadarannya dengan melalui badan, kejasmanaian merupakan ungkapan roh yang menjelma. 
Aksi (tindakan) manusia tidak bersifat eksternal, melainkan dari manusia itu sendiri (internal). Manusia sebagai pribadilah yang menentukannya. Dia berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat tidak merupakan satu bagian tapi keseluruhan. Dalam perbuatannya manusia dapat menjadi baik atau sebaliknya. Dengan kedaulatannya manusia mampu menuju kesempurnaan juga sebaliknya. Dengan demikian manusia adalah sebuah paradoks. Karena dalam dirinya mengandung dua prinsip: manusia berupa “apa” (jasmani) dan manusia berupa “siapa” (rohani). Karena dua prinsip itulah manusia mengandung oposisi-oposisi dalam dirinya, dia adalah kesatuan dari dua prinsip yang berlawanan.
Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan (menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya. Dikatakan perjuangan terus menerus karena pada kodratnya manusia adalah dinamika, bergerak aktif dengan dan dalam dirinya.
Manusia sebagai dinamika adalah manusia sebagai rohani-jasmani. Berdasarkan kerohaniannya terjadilah pelaksanaan, tapi pelaksanaan juga terjadi dalam kejasmanian. Ini adalah perintang. Oleh karena itu dinamikanya berupa pelaksanaan yang sekaligus berupa kegagalan, jadi selesai sebelum selesai, menjadi dan membelum. 
Dinamailah manusia memiliki tiga unsur: pertama, Pengertian. Pengertian manusia adalah pengertian rohani-jasmani juga jasmani-rohani, yang memuat beberapa segi yakni, pengertian indera adalah momen dari dan dalam keseluruhan pengertian kita; pengertian rasional merupakan pengertian konseptual membuat ide; pengertian metafisik disebut meta-konseptual, misalnya pengertian baik dan buruk. Ketiga segi ini saling memuat. Pengertian sensitif adalah satu momen dari seluruh pengertian insani. Tak ada pengertian sensitif tanpa pengertian rohani (intelek) juga sebaliknya.
Pengertian tersebut memuat fungsi, yakni menjiwai kehidupan manusia, memberi semacam pola dalam perbuatan; mempesatukan manusia dengan dunianya, kemampuan melakukan obyektivikasi; mensatukan manusia dengan sesamanya, kemampuan keluar dari batas ruang dan waktu sehingga mampu melihat manusia dengan dirinya, mampu menangkap interioritasnya; menangkap tansendensinya, berarti menyeberang, menyerahkan diri ke lain subyek. Penyerahan ini akhrnya bermuara kepada Tuhan.
Kedua, Rasa. Dibedakan antara rasa jasmani yang berlokalisasi dan rasa rohani yang tak berlokalisasi. Rasa merupakan penyatu dari aspek kognitif dan aspek pengambil di dalam menikmati (terpenuhinya suatu dorongan). Bentuk konkrit dari dinamika dalam unsur ini berupa dorongan-dorongan ke barang; dorongan seksual; dorongan ke arah keindahan; dorongan sensitif untuk cinta, disebut dorongan positif. Juga dorongan negatif yang menyebabkan manusia menolak sesuatu, yakni: takut, marah, segan.
Ketiga, Karsa. Adalah dinamika insani yang bentuknya menentukan. Karsa berkembang dari aspek jamani-rohani (biologis) ke aspek rohani-jasmani (logis). Pada taraf logis itulah karsa menjadi dinamika yang berdaulat, dalam arti mandiri, menguasai dan menentukan diri sendiri.
Dengan demikian pada kodratnya dinamika manusia menuju kesempurnaan. Namun, dalam perjalanannya ke arah itu mendapat hambatandari kejasmanian (nafsu-nafsu, keinginan), tapi manusia tidak diperbudak olehnya karena manusia memiliki karsa yang merupakan bentuk yang menentukan dalam perbuatannya. 
Dalam pelaksanaan dinamikanya ke kesempurnaan, manusia memperstukan dirinya dengan sesama dan alam. Mensatukan dirinya dengan sesama adalah sisi sosialitas manusia, karenanya secara kodrati manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain (homo homini socius). Dan, mensatukan dirinya dengan alam adalah sebagai proses dinamika aktif manusia mengatasi kodrat alam dan determinasi dunia material (sisi kebudayaan).
Tapi dalam pelaksanaan dinamikanya tersebut manusia tidak sepenuhnya tunduk pad kodratnya karena manusia memilik karsa. Sehingga, dalam pelaksanaan dinamikanya sering terjadi pembelokan-pembelokan dari nilai-nilai kodratinya. Demikianlah kenapa dalam kehidupan sosial terjadi kekerasan, penindasan terhadap sesama manusia. Yang demikian sebenarnya bukanlah kodrat manusia, tapi terjadi karena pembelokan karsa manusia.  
Dari pokok-pokok gagasan tentang manusia dari Drijarkara tersebut terasa aroma filsafat eksisitensialisme, yang berkembang di Eropa sesudah Perang Dunia II. Pemikirannya menampakkan pengaruh dari aliran eksistensialisme. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme merupakan reaksi terhadap pandangan materialisme yang meletakkan manusia pada tingkat impersonal dan idealisme yang meletakkan manusia pada tingkat yang abstrak.
Eksistensialisme memandang manusia secara terbuka. Artinya manusia adalah realitas yang belum selesai masih harus membenuk dan dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, pada sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksisitensial.  
Eksisitensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia, menyangkut pengalaman langsung yang bersifat pribadi. Bereksistensi berarti berdinamika, menciptakan dirinya secara aktif. Bereksisitensi berarti berbuat, menjadi,merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya. Dalam istilah Drijarkara manusia selalu menjadi dan membelum.
 
Sumber :
·         http://radjaf.blog.friendster.com/2009/02/homo-homini-lupus-vs-homo-homini-socius/
·         http://seemart.wordpress.com/2008/07/31/manusia-menurut-driyarkara/
·         http://barnabasjanuario.wordpress.com/2008/04/28/homo-homini-socius-dan-kebebasan-individual/